UU
No. 20 Tahun 2003 menyatakan bahwa anak berkebutuhan khusus
mencakup mereka yang mengalami kelainan fisik, emosi, mental, sosial dan
juga mereka yang memiliki potensi dan bakat istimewa. Kelainan fisik mencakup
tunanetra, tunarungu dan tunadaksa. Anak berkebutuhan khusus memerlukan pelayanan pendidikan khusus, yakni pendidikan bagi
peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses
pembelajaran karena kelainan fisik, emosional, mental, sosial, dan/atau
memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa.
Menurut Sadjaah (2005) bahwa
tunarungu termasuk kategori kelainan yang bersifat fisik, yakni merupakan keadaan kehilangan pendengaran yang
mengakibatkan seseorang tidak mampu menangkap rangsangan melalui
pendengarannya. Beberapa istilah yang pernah digunakan untuk menyebut tunarungu
antara lain adalah anak bisu tuli, anak tuli, cacat dengar, gangguan
pendengaran dan lain-lain.
Brill, MacNeil, & Newman 1986 dalam
Hallahan & Kauffman (1978) membedakan pengertian tuli (deaf) dengan kesulitan mendengar (hard of hearing). Seseorang yang tuli (deaf) adalah seseorang yang memiliki kelainan pendengaran sehingga
tidak bisa mengolah informasi bahasa dengan baik, dengan atau tanpa alat bantu
dengar. Sedangkan orang yang mengalami kesulitan mendengar (hard of hearing), dengan menggunakan alat bantu dengar (hearing aid), sisa pendengaran yang
dimiliki cukup untuk mengolah informasi bahasa.
Batasan pengertian
tunarungu yang lain dikemukakan oleh Donald F Mores, bahwa yang disebut tuli
adalah mereka yang memiliki ketidakmampuan mendengar dalam tingkat 60 dB ISO
atau lebih, sehingga tidak mengerti pembicaraan orang lain melalui
pendengarannya dengan atau tidak menggunakan alat bantu dengar. Sedangkan
kurang dengar adalah mereka yang memiliki ketidakmampuan dengar dalam tingkat
25 sampai 69 dB (Sadjaah, 2005 : 73)
Frisina (1974)
berpendapat bahwa seseorang yang disebut
tuli adalah seseorang yang pendengarannya cacat sampai batas yang
menghambat pengertiannya akan pembicaraan melalui telinga saja, dengan atau
tanpa penggunaan alat bantu dasar. Orang yang sukar mendengar adalah yang
pendengarannya cacat sampai tingkat tertentu … yang menyukarkan, tapi tidak
menghilangkan pengertian akan pembicaraan melalui telinga saja, dengan atau
tanpa alat bantu dengar (Kirk & Gallagher, 1986 : 53)
Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa batasan pengertian tunarungu yang dikemukakan oleh para ahli
tersebut pada umumnya mencakup kehilangan pendengaran baik sebagian maupun
total, sehingga pendengarannya tidak dapat berfungsi dengan baik.
Anak-anak yang mengalami
kerusakan pendengaran dan pendengarannya tidak berfungsi dengan baik, maka ketajaman pendengarannya pun akan
berkurang. Akibat ketajaman pendengaran yang kurang adalah kemampuan persepsi
auditoris yang rendah atau kurang berkembang. Keadaan ini membawa dampak besar
bagi kehidupan seorang anak. Arthur Boothroyd dalam Sadjaah (2005) menjelaskan
akibat ketunarunguan adalah masalah persepsi auditif, masalah bahasa dan
komunikasi, masalah intelektual dan kognitif, masalah pendidikan, masalah
social, masalah emosi dan masalah vokasional. Tunarungu menyebabkan masalah
persepsi auditif karena seoorang anak yang mengalami ketunarunguan akan
kehilangan kemampuan mendengarnya baik sebagian maupun secara keseluruhan.
Kehilangan kemampuan mendengar ini sangat berpengaruh terhadap perkembangan bahasa
dan komunikasi, karena perkembangan bahasa dan komunikasi sangat bergantung
pada pendengaran seseorang.
Karakteristik anak
tunarungu yang berbeda dengan anak normal, menuntut pendekatan membelajaran
secara khusus. Kemampuan guru dalam mengelola pembelajaran untuk mencapai
tujuan menjadi kunci mengingat anak tunarungu memiliki hambatan dalam bahasa
dan komunikasi. Oleh karena itu
pembelajaran harus dirancang agar kemampuan berbahasa dan berkomunikasi anak
tunarungu dapat berkembang secara maksimal. Bahkan penguasaan bahasa bagi siswa
tunarungu menjadi utama mengingat bahasa sangat diperlukan dalam pengembangan
diri. Kemampuan berbahasa dan berkomunikasi harus dikembangkan sedini.
Penguasaan bahasa yang baik akan berpengaruh positif terhadap kemampuan
mengikuti pelajaran pada tahap selanjutnya.
Pengelompokan tunarungu berdasarkan ukuran ketajaman
pendengaran dan ciri-cirinya dilakukan oleh para ahli dalam rangka lebih
mengoptimalkan layanan pendidikannya.
Andrews, Leigh, & Weiner mengelompokkan tunarungu menurut ukuran
pendengaran (Hallahan & Kauffman, 1978), sebagai berikut : mild/ ringan (26-40 dB), moderat/
sedang (41-55 dB), moderat-severe/
sedang-berat (56-70 dB), severe/
berat (71-90 dB), dan profound/ sangat berat (91 dB ke atas).
(ASA-1*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar