Minggu, 05 Januari 2014

Tunarungu




UU No. 20 Tahun 2003 menyatakan bahwa anak berkebutuhan khusus mencakup mereka yang mengalami kelainan fisik, emosi, mental, sosial dan juga mereka yang memiliki potensi dan bakat istimewa. Kelainan fisik mencakup tunanetra, tunarungu dan tunadaksa. Anak berkebutuhan khusus memerlukan pelayanan pendidikan khusus, yakni pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik, emosional, mental, sosial, dan/atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa.
Menurut Sadjaah (2005) bahwa tunarungu termasuk kategori kelainan yang bersifat fisik, yakni  merupakan keadaan kehilangan pendengaran yang mengakibatkan seseorang tidak mampu menangkap rangsangan melalui pendengarannya. Beberapa istilah yang pernah digunakan untuk menyebut tunarungu antara lain adalah anak bisu tuli, anak tuli, cacat dengar, gangguan pendengaran dan lain-lain.
Brill, MacNeil, & Newman 1986 dalam Hallahan & Kauffman (1978) membedakan pengertian tuli (deaf) dengan kesulitan mendengar (hard of hearing). Seseorang yang tuli (deaf) adalah seseorang yang memiliki kelainan pendengaran sehingga tidak bisa mengolah informasi bahasa dengan baik, dengan atau tanpa alat bantu dengar. Sedangkan orang yang mengalami kesulitan mendengar (hard of hearing), dengan menggunakan alat bantu dengar (hearing aid), sisa pendengaran yang dimiliki cukup untuk mengolah informasi bahasa. 
Batasan pengertian tunarungu yang lain dikemukakan oleh Donald F Mores, bahwa yang disebut tuli adalah mereka yang memiliki ketidakmampuan mendengar dalam tingkat 60 dB ISO atau lebih, sehingga tidak mengerti pembicaraan orang lain melalui pendengarannya dengan atau tidak menggunakan alat bantu dengar. Sedangkan kurang dengar adalah mereka yang memiliki ketidakmampuan dengar dalam tingkat 25 sampai 69 dB (Sadjaah, 2005 : 73)
Frisina (1974) berpendapat bahwa seseorang yang disebut  tuli adalah seseorang yang pendengarannya cacat sampai batas yang menghambat pengertiannya akan pembicaraan melalui telinga saja, dengan atau tanpa penggunaan alat bantu dasar. Orang yang sukar mendengar adalah yang pendengarannya cacat sampai tingkat tertentu … yang menyukarkan, tapi tidak menghilangkan pengertian akan pembicaraan melalui telinga saja, dengan atau tanpa alat bantu dengar (Kirk & Gallagher, 1986 : 53)
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa batasan pengertian tunarungu yang dikemukakan oleh para ahli tersebut pada umumnya mencakup kehilangan pendengaran baik sebagian maupun total, sehingga pendengarannya tidak dapat berfungsi dengan baik.
Anak-anak yang mengalami kerusakan pendengaran dan pendengarannya tidak berfungsi dengan baik,  maka ketajaman pendengarannya pun akan berkurang. Akibat ketajaman pendengaran yang kurang adalah kemampuan persepsi auditoris yang rendah atau kurang berkembang. Keadaan ini membawa dampak besar bagi kehidupan seorang anak. Arthur Boothroyd dalam Sadjaah (2005) menjelaskan akibat ketunarunguan adalah masalah persepsi auditif, masalah bahasa dan komunikasi, masalah intelektual dan kognitif, masalah pendidikan, masalah social, masalah emosi dan masalah vokasional. Tunarungu menyebabkan masalah persepsi auditif karena seoorang anak yang mengalami ketunarunguan akan kehilangan kemampuan mendengarnya baik sebagian maupun secara keseluruhan. Kehilangan kemampuan mendengar ini sangat berpengaruh terhadap perkembangan bahasa dan komunikasi, karena perkembangan bahasa dan komunikasi sangat bergantung pada pendengaran seseorang.
Karakteristik anak tunarungu yang berbeda dengan anak normal, menuntut pendekatan membelajaran secara khusus. Kemampuan guru dalam mengelola pembelajaran untuk mencapai tujuan menjadi kunci mengingat anak tunarungu memiliki hambatan dalam bahasa dan komunikasi.    Oleh karena itu pembelajaran harus dirancang agar kemampuan berbahasa dan berkomunikasi anak tunarungu dapat berkembang secara maksimal. Bahkan penguasaan bahasa bagi siswa tunarungu menjadi utama mengingat bahasa sangat diperlukan dalam pengembangan diri. Kemampuan berbahasa dan berkomunikasi harus dikembangkan sedini. Penguasaan bahasa yang baik akan berpengaruh positif terhadap kemampuan mengikuti pelajaran pada tahap selanjutnya. 
Pengelompokan tunarungu berdasarkan ukuran ketajaman pendengaran dan ciri-cirinya dilakukan oleh para ahli dalam rangka lebih mengoptimalkan  layanan pendidikannya. Andrews, Leigh, & Weiner mengelompokkan tunarungu menurut ukuran pendengaran (Hallahan & Kauffman, 1978), sebagai berikut : mild/ ringan (26-40 dB),  moderat/ sedang (41-55 dB), moderat-severe/ sedang-berat  (56-70 dB),  severe/ berat (71-90 dB), dan  profound/ sangat berat (91 dB ke atas). (ASA-1*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar